Aku
mengerti Engkau yang memilikiku sepenuhnya.
Tak kuragukan itu. Aku percaya itu. Engkau yang mengerti aku sepenuhnya.
Tak ada yang terlewatkan. Bahkan keinginan dalam hati yang baru saja aku
pikirkan telah Engkau jawab. Baru
terlintas begitu saja saat perjalanan pulang ke asramaMu, Engkau telah
membukakan jalan. Secepat itu Engkau
merespon hambaMu ini.
Malam ini
hati ini menjadi saksi betapa Engkau memiliki seluruh dunia ini. Hati yang
terselubung pun tak luput dari perhatianMu.
Malam ini
kaki-kaki bersilang untuk menyuro'kan evaluasi bulanan. Semua sudah berjalan
ketika aku tiba dipintu. Seperti biasa yang putra berada di ujung kiri dan
putri di ujung kanan. Aku melipir masuk rumah lewat jalan sebelah. Alasanku
sebenarnya tidak ingin mengganggu mereka dengan kedatanganku plus ada perasaan
tidak ingin bertemu mereka sebenarnya. Ada rasa kurang berkenan berada di
lingkaran mereka. Seperti ini bukan jalanku atau merasa bahwa ada aku atau
tidak sepetinya tidak apa-apa. Kalau kata aa gym, aku masuk kategori manusia
sunnah sepertinya, ada atau tidaknya tidak diperhitungkan. Nyesek?
Iiyaa...begitulah.
Aku masih
berada dikamar beres-beres barang dan segera meluncur di pertemuan itu.
Tiap orang
dievaluasi keberjalanan amanahnya. Aku? Ya pasti juga masuk hitungan. Aku duduk
dekat dengan ketua putri. Menjadi yang terakhir terevaluasi. Dan ketika tiba
waktuku dievaluasi, ada beberapa orang yang pergi ijin mendahului ada
kepentingan dirumah. Aku berpikir sepertinya Engkau akan memberitahuku sesuatu berita besar ya
Allah. Engkau tidak ingin aib ku terbuka didepan banyak orang. Oke, dan aku?
Siap mendengarkan evaluasi. Aku mendengarkan dengan saksama. Diam mencermati
tiap kata dan sikap orang-orang saat aku dipertanyakan. Intinya aku harus
memilih mana? Kampus atau asrama? Komposisi antara kampus dan asrama yang tidak
seimbang. Akad yang dulu disepakati
hanya satu hari off ternyata aku berhari-hari off. Akad yang dulu disepakati ternyata tak
terjalankan lagi. Beliau menjelasakn dengan hati-hati tanpa menyakitiku. Aku
tau makna tersiratnya. Aku tau kandungan ucapan itu. Aku tau. Ya. Aku tau. Tapi
entah aku tak berani menyebutkan
kata-kata yang ada dipikiranku. Aku tidak seberani yang lain yang
menyatakan dengan jahr apa yang dirasakan. Ada satu kata kunci yang sebenarnya
ingin beliau dan aku tak berani menyebutnya, yakni keluar. Kita sama-sama orang
jawa tulen yang menjunjung tinggi bahasa pragmatik. Semua yang beliau sampaikan
adalah tinggal atau keluar. Itu pilihan. Aku benar-benar tak berani
menyampaikan. Aku bingung hingga akhirnya wajahku yang linglung itu terbaca
oleh penyimak disekeliling kami. Waktu 2 hari menjadi jatahku berpikir untuk
berada disini.
Aku masih
duduk bersila. Tangan ketua putri menyentuhku dengan lembut. Pertanda simpati
padaku. Aku tangkap diwajahnya begiu berat menyampaikan hingga lidah kelu dan
hanya tangan yang bisa menyampaikannya. Aku merasa bersalah pada situasi
seperti ini. Semua diam. Hening. Hanya aku yang terdengar gamang berbicara
sepatah-patah.
Dalam hati,
aku takjub padaMu. Engkau begitu cepat membuka jalan untuk aku berfokus diri.
Apa ini pertanda dariMu? Istikharah sepertinya menjadi jalanku untuk mencari
ridhoMu.
Berilah
yang terbaik ya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar