Aku
ceritakan sebuah mozaik kehidupan sepasang insan. Berkenalan disebuah acara
untuk mahasiswa baru yang dihadiri keduanya. Kedua mata tak sengaja beradu
pandang. Semilir angin sejenak datang disela-sela hati. Sekejap kemudian saling
menunduk. Entah malu dan gugup jadi
campur aduk tak karuan. Menunduk menjadi pilihan. Menunduk mengumpulkan
kekuatan untuk berani melawan nafsu yang berantakan. Menunduk merenungi hati
yang sedikit kelimpungan. Menunduk berpikir apa yang selanjutnya ia lakukan.
Menunduk menata hati dan pikiran agar sejalan.
Keduanya
berantakan. Butuh waktu lama untuk hati menjadi seperti semula. Mereka mulai
memahami bahwa menghilangkan noda ternyata tak segampang yang dipahami. Butuh
sekian hari untuk memulihkan kembali. Ya. Mereka menyadari itu. Maka dari itu
masing-masing insan mulai dengan pertahanannya. Dan keduanya memilih pertahanan
menghindar. Menghindar untuk berinteraksi langsung ataupun tak langsung.
Menghindar untuk berada diforum yang sama. Menghindar untuk saling bertanya.
keduanya menyadari bahwa masing-masing
telah sengaja menjauh. Tapi kedua insan tersebut masih menjaga saling
berkomunikasi walau sangat jarang sekali. Masih saling bersapa saat bertemu.
Masih saling bertebar salam walau jarang berpapasan. Tapi kesan menghindar tak
kan menghilang.
Kedua insan
tersebut telah pintar mengambil peran. Keduanya semakin lihai dalam manajemen
perasaan. Gugup yang dulu terasa menyakitkan kini keduanya lihai mempermainkan.
Membiarkan gugup tetap bergetar asal sesuai koridornya. Mata yang dulu
berpandang lentik padanya, kini mulai mudah menjinakkannya. Hati yang dulu
bergetar ingin segera menghindar, kini mulai sadar bahwa silaturahim lebih
diutamakan. Biarlah hati bergetar karena itu adalah tanda sikap malu yang
menawan.
Kedua insan
telah memahami bahwa hati memang tak bisa dibohongi. Mereka mmebiarkan perasaan
itu mengalir perlahan tanpa memberikannya arus. Membiarkan angin yang menjadi
nahkodanya. Membiarkan angin membawanya tanpa mereka sadari.
Entah,
perasaan itu telah menempuh perjalanan berapa lama hingga saat ini. Keduanya mulai melupakan.
Mulai terbiasa kembali seperti sejak pertemuan mula. Hati mulai sedikit
tertata. Tak perlu menghindar lagi rasanya. Keduanya telah memutuskan saling
berinteraksi kembali. Namun kedua insan tersebut belum menyadari bahwa endapan
bisa mengalir akibat dari gesekan-gesekan bertubi-tubi. Endapan akan membuat
keruh aliran. Jika semakin lama mengendap dan delta yang tercipta semakin
banyak maka aliran akan semakin keruh. Begitu juga hati, jika pernah merasakan
dan menjadi endapan perasaan maka waktu yang akan menjadi lawannya. Dan waktu
pula yang akan menjawabnya.
Kita
nantikan saja episode hati yang akan
mereka ciptakan selanjutnya. Apakah memang telah takdir dariNya atau memang
hiasan hati belaka?
*dari curhatan seorang sobat :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar